MEMAHAMI PERKEMBANGAN SOSIAL DAN PRIBADI ANAK
Perubahan esensial yang
terjadi dalam kehidupan seorang anak usia SD adalah semakin meluasnya
lingkungan pergaulan. Perubahan ini mendorong anak untuk memperluas
lingkup interaksi sosialnya yang berkaitan juga dengan perkembangan
pribadi anak tersebut.
Untuk dapat memahami
perkembangan sosial dan kepribadian anak secara lebih mendalam maka
harus mengetahui tentang perkembangan emosi dan sosial, perkembangan
identitas diri, serta perkembangan moral anak. Yang akan mendukung
suasana lingkungan yang kondusif bagi perkembangan sosial dan pribadi
anak.
Perkembangan Emosi dan Sosial
Kemampuan untuk bereaksi secara
emosional sudah ada pada bayi yang baru lahir. Gejala pertama perilaku
emosional adalah keterangsangan umum terhadap stimulasi yang kuat.
Keterangsangan yang berlebih-lebihan ini tercermin dalam aktivitas yang
banyak pada bayi yang baru lahir. Meskipun demikian, pada saat bayi
lahir, bayi tidak memperlihatkan reaksi yang secara jelas dapat
dinyatakan sebagai keadaan emosional yang spesifik.
Seringkali, keterangsangan umum
pada bayi yang baru lahir dapat dibedakan menjadi reaksi yang sederhana
yang mengesankan tentang kesenangan dan ketidaksenangan. Reaksi
yang tidak menyenangkan dapat diperoleh dengan cara mengubah posisi
secara tiba-tiba, sekonyong-konyong membuat suara keras, merintangi
gerakan bayi, membiarkan bayi mengenakan popok yang basah, dan
menempelkan sesuatu yang dingin pada kulitnya. Rangsangan semacam itu
menyebabkan timbulnya tangisan dan aktivitas besar.
Sebaliknya, reaksi yang menyenangkan tampak jelas
tatkala bayi menetek. Reaksi semacam itu juga dapat diperoleh dengan
cara mengayun-ayunkannya, menepuk-nepuknya, memberikan kehangatan, dan
membopongnya dengan mesra. Rasa senang pada bayi dapat terlihat dari
relaksasi yang menyeluruh pada tubuhnya, dan dari suara yang
menyenangkan berupa mendekut dan mendeguk.
Beberapa bulan setelah bayi lahir, muncul berbagai
macam pola emosi. Pola yang paling umum, rangsangan yang membangkitkan
emosi dan reaksi yang khas dari setiap pola dibawah ini, antara lain;
Rasa Takut
Rangsangan yang umumnya menimbulkan rasa takut pada
masa bayi ialah suara yang keras, binatang, kamar yang gelap, tempat
yang tinggi, berada seorang diri, rasa sakit, orangyang tak dikenal,
tempat dan obyek yang tidak dikenal.
Anak kecil lebih takut kepada benda-benda
dibandingkan dengan bayi atau anak yang lebih tua. Usia antara dua
sampai enam tahun merupakan masa puncak bagi rasa takut yang khas
didalam pola perkembangan yang normal. Alasannya karena anak kecil lebih
mampu mengenal bahaya dibandingkan dengan bayi, tetapi kurangnya
pengalaman menyebabkan mereka kurang mampu mengenal apakah suatu bahay
merupakan ancaman pribadi atau tidak.
Rasa Malu
Merupakan bentuk ketakutan yang ditandai oleh
penarikan diri dari hubungan dengan orang lain yang tidak dikenal atau
tidak sering berjumpa. Rasa malu selalu ditimbulkan oleh
manusia, bukan oleh binatangatau situasi. Studi terhadap bayi telah
menunjukkan bahwa selama pertengahan tahun pertama kehidupan, rasa malu
merupakan reaksi yang hamper universal terhadap orang yang tidak
dikenalatau orang yang sudah dikenal tetapi memakai baju atau tata
rambut yang tidak seperti biasanya.
Pada bayi, reaksi yang umum
terhadap rasa malu ialah menangis, memalingkan muka, dari orang yang
tidak dikenal, dan bergayut pada orang yang sudah akrab untuk
berlindung. Hanya apabila mereka telah yakin bahwa tidak ada bahaya yang nyata barulah mereka mau mendekati orang yang tidak dikenal itu.
Sedangkan, perkembangan sosial merupakan pencapaian
kematangan dalam hubungan sosial. Perkembangan sosial dapat pula
diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap
norma-norma kelompok, moral dan tradisi; meleburkan diri menjadi satu
kesatuan dan saling berkomunikasi dan kerja sama.
Pada awal manusia dilahirkan belum bersifat sosial,
dalam artian belum memiliki kemampuan dalam berinteraksi dengan orang
lain. Kemampuan sosial anak diperoleh dari berbagai kesempatan dan
pengalaman bergaul dengan orang-orang dilingkungannya.
Kebutuhan berinteraksi dengan orang lain telah
dirasakan sejak usia enam bulan, disaat itu mereka telah mampu mengenal
manusia lain, terutama ibu dan anggota keluarganya. Anak mulai mampu
membedakan arti senyum dan perilaku sosial lain, seperti marah (tidak
senang mendengar suara keras) dan kasih sayang. Sunarto dan Hartono
(1999) menyatakan bahwa :
Hubungan sosial (sosialisasi) merupakan hubungan
antar manusia yang saling membutuhkan. Hubungan sosial mulai dari
tingkat sederhana dan terbatas, yang didasari oleh kebutuhan yang
sederhana. Semakin dewasa dan bertambah umur, kebutuhan manusia menjadi
kompleks dan dengan demikian tingkat hubungan sosial juga berkembang
amat kompleks.
Perkembangan Diri
Erikson dalam membentuk teorinya, sangat
berkaitan erat dengan kehidupan pribadinya dalam hal ini mengenai
pertumbuhan egonya. Bagi Erikson, dinamika kepribadian selalu diwujudkan
sebagai hasil interaksi antara kebutuhan dasar biologis dan
pengungkapannya sebagai tindakan-tindakan sosial. Tampak dengan jelas
bahwa yang dimaksudkan dengan psikososial apabila istilah ini dipakai
dalam kaitannya dengan perkembangan.
Secara khusus, hal ini berarti bahwa
tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai dibentuk oleh
pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme yang
menjadi matang secara fisik dan psikologis. Sedangkan konsep
perkembangan yang diajukan dalam teori psikoseksual yang menyangkut tiga
tahap yaitu oral, anal, dan genital, diperluasnya menjadi delapan tahap
sedemikian rupa sehingga dimasukkannya cara-cara dalam mana hubungan
sosial individu terbentuk dan sekaligus dibentuk oleh
perjuangan-perjuangan insting pada setiap tahapnya.
Delapan tahap/fase perkembangan kepribadian
menurut Erikson memiliki ciri utama setiap tahapnya adalah di satu pihak
bersifat biologis dan di lain pihak bersifat sosial, yang berjalan
melalui krisis diantara dua polaritas. Adapun tingkatan dalam delapan
tahap perkembangan yang dilalui oleh setiap manusia menurut Erikson
adalah sebagai berikut :
1. Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan)
Tahap ini berlangsung pada masa oral, kira-kira
terjadi pada umur 0-1 atau 1 ½ tahun. Tugas yang harus dijalani pada
tahap ini adalah menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan tanpa harus
menekan kemampuan untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan. Kepercayaan ini
akan terbina dengan baik apabila dorongan oralis pada bayi terpuaskan,
misalnya untuk tidur dengan tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan
tepat waktu, serta dapat membuang kotoron (eliminsi) dengan sepuasnya.
Oleh sebab itu, pada tahap ini ibu memiliki peranan yang secara
kwalitatif sangat menentukan perkembangan kepribadian anaknya yang masih
kecil.
2. Otonomi vs Perasaan Malu dan Ragu-ragu
Pada tahap kedua adalah tahap
anus-otot (anal-mascular stages), masa ini biasanya disebut masa balita
yang berlangsung mulai dari usia 18 bulan sampai 3 atau 4 tahun. Tugas
yang harus diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian (otonomi)
sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu. Apabila dalam
menjalin suatu relasi antara anak dan orangtuanya terdapat suatu
sikap/tindakan yang baik, maka dapat menghasilkan suatu kemandirian.
Namun, sebaliknya jika orang tua dalam mengasuh anaknya bersikap salah,
maka anak dalam perkembangannya akan mengalami sikap malu dan ragu-ragu.
3. Inisiatif vs Kesalahan
Tahap ketiga adalah tahap kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap bermain. Tahap ini pada suatu
periode tertentu saat anak menginjak usia 3 sampai 5 atau 6 tahun, dan
tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk belajar
punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan.
Masa-masa bermain merupakan masa di mana seorang anak ingin belajar dan
mampu belajar terhadap tantangan dunia luar, serta mempelajari
kemampuan-kemampuan baru juga merasa memiliki tujuan.
4. Kerajinan vs Inferioritas
Tahap keempat adalah tahap laten yang terjadi pada
usia sekolah dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Salah satu tugas yang
diperlukan dalam tahap ini ialah adalah dengan mengembangkan kemampuan
bekerja keras dan menghindari perasaan rasa rendah diri. Saat anak-anak
berada tingkatan ini area sosialnya bertambah luas dari lingkungan
keluarga merambah sampai ke sekolah, sehingga semua aspek memiliki
peran, misalnya orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi
perhatian, teman harus menerima kehadirannya, dan lain sebagainya.
5. Identitas vs Kekacauan Identitas
Tahap kelima merupakan tahap adolesen (remaja),
yang dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada usia 18 atau 20
tahun. Pencapaian identitas pribadi dan menghindari peran ganda
merupakan bagian dari tugas yang harus dilakukan dalam tahap ini.
Menurut Erikson masa ini merupakan masa yang mempunyai peranan penting,
karena melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego,
dalam pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya
dan bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat.
6. Keintiman vs Isolasi
Tahap pertama hingga tahap kelima sudah dilalui, maka setiap individu akan memasuki jenjang berikutnya yaitu pada masa dewasa awal
yang berusia sekitar 20-30 tahun. Jenjang ini menurut Erikson adalah
ingin mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindar dari
sikap menyendiri. Periode diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial
dengan orang lain yang biasanya disebut dengan istilah pacaran guna
memperlihatkan dan mencapai kelekatan dan kedekatan dengan orang lain.
Di mana muatan pemahaman dalam kedekatan dengan orang lain mengandung
arti adanya kerja sama yang terjalin dengan orang lain. Akan tetapi,
peristiwa ini akan memiliki pengaruh yang berbeda apabila seseorang
dalam tahap ini tidak mempunyai kemampuan untuk menjalin relasi dengan
orang lain secara baik sehingga akan tumbuh sifat merasa terisolasi.
7. Generativitas vs Stagnasi
Masa dewasa (dewasa tengah) berada pada posisi ke
tujuh, dan ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 30 sampai 60
tahun. Apabila pada tahap pertama sampai dengan tahap ke enam terdapat
tugas untuk dicapai, demikian pula pada masa ini dan salah satu tugas
untuk dicapai ialah dapat mengabdikan diri guna keseimbangan antara
sifat melahirkan sesuatu (generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa
(stagnasi). Generativitas adalah perluasan cinta ke masa depan. Sifat
ini adalah kepedulian terhadap generasi yang akan datang. Melalui
generativitas akan dapat dicerminkan sikap memperdulikan orang lain.
8. Integritas vs Keputusasaan
Tahap terakhir dalam teorinya Erikson disebut tahap
usia senja yang diduduki oleh orang-orang yang berusia sekitar 60 atau
65 ke atas. Dalam teori Erikson, orang yang sampai pada tahap ini
berarti sudah cukup berhasil melewati tahap-tahap sebelumnya dan yang
menjadi tugas pada usia senja ini adalah integritas dan berupaya
menghilangkan putus asa dan kekecewaan. Tahap ini merupakan tahap yang
sulit dilewati menurut pemandangan sebagian orang dikarenakan mereka
sudah merasa terasing dari lingkungan kehidupannya, karena orang pada
usia senja dianggap tidak dapat berbuat apa-apa lagi atau tidak berguna.
Perkembangan Kesadaran Identitas Diri
Kesadaran ini merupakan kesadaran anak tentang
konsep peran pria dan wanita dalam kehidupan .Perkembangan jenis kelamin
anak dipengaruhi oleh sejumlah faktor antara lain :
1) Faktor biologis
Factor ini terletak pada perbedaan anatomi dan hormon antara pria dan wanita.
2) Faktor social
Anak mempelajari peran jenis kelamin melalui
peniruan dan observasi terhadap perilaku orang lain misalnya cara
berbicara,car berpakaian,cara makan,cara berjalan dan masih banyak yang
lain itu semua antara pria dan wanita berbeda.
3) Media massa
Media massa merupakan faktor terbesar pada era
globalisasi ini misalnya tayangan-tanyangan tentang peran menjadi
ibu,menjadi ayah,serta gambar-gambar dari media massa yang dapat
mempengaruhi peran antaraa pria dan wanita.
4) Pengaruh perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif sangat mempengaruhi peran
jenis kelamin karena dengan pikiran anak dapat membedakan mana yag baik
saya lakukan dan mana yang tidak baik saya lakukan sesuai dengan status
saya sebagai pria dan begitu juga pada wanita.Perkembangan kognitif ini
akan efektif pada anak yang mengalami perkembangan normal.
Pembentukan tipe peran jenis kelamin
Pembentukan ini dimulai sejak lahir antara bayi
laki-laki dan bayi perempuan. Dari cara berpakaian,dari mainan yang di
bedakan, cara interaksi, Setelah bayi laki-laki tumbuh menjadi besar dan
masuk tahap anak-anak maka anak laki-laki tersebut lebih suka bermain
di tempat yag terbuka dan teman-temanya banyak baik yang sebaya maupun
yang di atasnya. Sedangkan anak perempuan cenderung bermain di
lingkungan rumah misalnya bermain boneka,masak-masakan, bersolek,
menjahit dan lain-lain. Sebaiknya dalam proses pembentukan ini harus
didukung oleh lingkungan yang kondusif.
Perkembangan Moral
Perkembangan yang harus dipahami dan tidak kalah penting adalah perkembangan moral. Kata Moral berasal dari kata latin “mos” yang berarti kebiasaan. Anak
dalam hidupnya akan bertemu dengan norma-norma yang berlaku di
masyarakat. Norma-norma inilah yang biasanya dikaitkan dengan moral,
jadi moral adalah penilaian tentang perilaku seseorang dalam kehidupan
baik buruknya sikap seseorang dan penilaian berdasarkan pada norma-norma
yang berlaku dalam masyarakat. Perkembangan moral menurut pandangan
kognitif yang dipelopori oleh Piaget dan Kohlberg.
Menurut Piaget,
kesadaran moral anak mengalami perkembangan dari satu tahap yang lebih
tinggi. Piaget menyimpulkan bahwa anak berpikir tentang moralitas dalam
dua cara yaitu:
a. Heteronimus
Pada tahap perkembangan moral ini,
anak menganggap keadilan dan aturan sebagai sifat-sifat dunia yang tidak
berubah dan lepas dari kendali manusia. Dan biasanya tahap ini menjadi
sudut pandang dari anak usia 4-7 tahun.
b. Moralitas otonimus
Pada tahap ini anak sudah menyadari
bahwa hukum dan aturan-aturan itu diciptakan oleh manusia bahwa menilai
tindakan seseorang harus mempertimbangkan maksud si pelaku dan
akibatnya. Anak mengalami fase ini pada usia 7-10 tahun.
Sedangkan menurut Kohlberg,
proses perkembangan dari satu tahap penalaran moral ke tahap berikutnya
tidak terjadi secara mendadak, melainkan secara gradual.
Kohlberg kemudian mampu mengidentifikasi 6 (enam) tahap dalam moral reasoning yang kemudian dibagi dalam tiga taraf, yaitu:
1. Penalaran Prakonvensional
Penalaran prakonvensional adalah
tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada
tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral,
penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman
ekternal.
Tahap 1: Orientasi hukuman dan
ketaatan ialah tahap pertama dalam teori perkembangan moral Kohlberg.
Pada tahap ini perkembangan moral didasarkan atas hukuman. Anak-anak
taat karena orang-orang dewasa menuntut mereka untuk taat.
Tahap 2: Individualisme dan tujuan
adalah tahap kedua dari teori ini. Pada tahap ini penalaran moral
didasarkan pada imbalan dan kepentingan diri sendiri. Anak-anak taat
bila mereka ingin taat dan bila yang paling baik untuk kepentingan
terbaik adalah taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan
apa yang dianggap menghasilkan hadiah.
2. Penalaran Konvensional
Penalaran konvensional adalah
tingkat kedua atau tingkat menengah dari teori perkembangan moral
Kohlberg. Internalisasi individu pada tahap ini adalah menengah. Seorang
mentaati standar-standar (internal) tertentu, tetapi mereka tidak
mentaati standar-standar (internal) orang lain, seperti orangtua atau
masyarakat.
Tahap 3: Norma-norma interpersonal, pada tahap ini
seseorang menghargai kebenaran, kepedulian, dan kesetiaan pada orang
lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Anak anak sering
mengadopsi standar-standar moral orangtuanya pada tahap ini, sambil
mengharapkan dihargai oelh orangtuanya sebagai seorang perempuan yang
baik atau laki-laki yang baik.
Tahap 4: Moralitas sistem sosial. Pada tahap ini,
pertimbangan moral didasarkan atas pemahaman aturan sosial, hukum-hukum,
keadilan, dan kewajiban.
3. Penalaran Pascakonvensional
Penalaran pascakonvensional adalah tingkat tertinggi dari teori perkembangan moral Kohlberg. Pada
tingkat ini, moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak
didasarkan pada standar-standar orang lain. Seorang mengenal tindakan
moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan
berdasarkan suatu kode moral pribadi.
Tahap 5: Hak-hak masyarakat versus
hak-hak individual, pada tahap ini seseorang mengalami bahwa nilai-nilai
dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat
berbeda dari satu orang ke orang lain. Seseorang menyadari hukum penting
bagi masyarakat, tetapi nilai-nilai seperti kebebasan lebih penting
dari pada hukum.
Tahap 6: Prinsip-prinsip etis
universal, pada tahap ini seseorang telah mengembangkan suatu standar
moral yang didasarkan pada hak-hak manusia yang universal. Bila
menghadapi konflik secara hukum dan suara hati, seseorang akan mengikuti
suara hati, walaupun keputusan itu mungkin melibatkan resiko pribadi.
0 komentar:
Posting Komentar